Program Makan Bergizi Gratis, Dari Harapan Besar ke Gelombang Keracunan Massal
Program Makan Bergizi Gratis, Dari Harapan Besar ke Gelombang Keracunan Massal
Program Makan Gizi Gratis atau MBG yang resmi bergulir sejak terpilihnya pemerintahan baru pada tahun 2024 dan banyak menuai kontroversi. Terobosan ini digadang-gadang menjadi salah satu program besar untuk melawan permasalahan stunting dan meningkatkan kualitas gizi masyarakat. Terdapat target yang fantastis dengan jangkauan 2,9 juta penerima manfaat mulai dari anak sekolah, ibu hamil, hingga ibu menyusui. MBG disebut-sebut sebagai salah satu program sosial paling ambisius dalam sejarah Indonesia modern.
Namun dibalik itu, program yang ditujukan untuk perbaikan konsumsi gizi oleh masyarakat ini tak luput dari kasus keracunan massal yang merebak di beberapa titik daerah di Indonesia. Alih-alih menjadi simbol perbaikan gizi, program ini justru menimbulkan pertanyaan besar untuk masyarakat luas, ‘apakah benar-benar sudah ditopang oleh sistem pengawas dan infrastruktur terbaik atau malah menjadi bumerang untuk kita semua?’.
Sejak Januari hingga September 2025, program MBG terus menjadi sorotan publik akibat adanya kasus keracunan massal. Berdasarkan catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), tercatat 6.452 siswa mengalami keracunan makanan setelah mengonsumsi menu MBG. Angka tersebut menunjukkan adanya tren peningkatan setiap bulannya yang terus meningkat tajam.
Sejumlah wilayah di Indonesia menjadi sorotan karena mencatat insiden keracunan massal akibat makanan program MBG. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa persoalan tidak hanya bersifat lokal, tetapi terjadi di berbagai daerah dengan skala yang cukup mengkhawatirkan.
Contohnya di kabupaten Sragen, Jawa Tengah, sebanyak 365 orang terdiri dari siswa dan guru dari 10 sekolah mengalami gejala keracunan setelah menyantap menu MBG.
Tak lama setelah itu, kasus serupa juga muncul di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Lebong, dan Bengkulu. Hasil uji laboratorium mengonfirmasi bahwa makanan yang dikonsumsi terkontaminasi bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus, serta Clostridium perfringens. Akibatnya, lebih dari 550 siswa dari dua daerah tersebut harus mendapat penanganan medis.Kasus dengan skala lebih besar terjadi di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, di mana sekitar 1.000 penerima manfaat MBG mengalami keracunan massal.
Kemudian pemerintah daerah setempat bersama pihak kesehatan kemudian turun tangan melakukan investigasi, termasuk menutup sementara beberapa dapur yang dijadikan tempat untuk pengolahan yang diduga menjadi sumber masalah.
Adapun gejala yang paling sering dilaporkan adalah mual, muntah, dan diare, dengan lima orang korban harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Peristiwa ini menimbulkan keresahan di kalangan orang tua dan memicu desakan agar distribusi makanan dievaluasi lebih serius.
Distribusi yang tidak yang tidak sesuai standar seperti makanan yang dikonsumsi setelah lebih dari 4 jam tanpa pendingin makanan juga turut memperbesar resiko. Di sisi lain, pengelolaan dapur MBG juga terbilang belum cukup memadai dan jauh dari kata ideal, mulai dari kondisi air yang digunakan, higienitas tenaga pengolah, hingga pelanggaran prosedur standar operasional (SOP).
Menanggapi kasus ini, Badan Gizi Nasional (BGN) secara terbuka meminta maaf dan menegaskan komitmen untuk menanggung biaya perawatan semua korban. Pemerintah juga bertindak tegas dengan menutup sementara bahkan permanen lebih dari 40 dapur penyedia MBG yang terbukti melanggar aturan. Langkah perbaikan sedang digencarkan melalui audit sanitasi yang lebih rutin, inspeksi mendadak, serta peningkatan pengawasan di tingkat daerah. Kepolisian pun dilibatkan untuk menelusuri kemungkinan adanya kelalaian atau tindak pidana dalam proses penyelenggaraan MBG.
Sejatinya Program Makan Gratis lahir dari niat yang mulia, yaitu memastikan anak-anak Indonesia tumbuh dengan sebaik-baiknya makanan yang layak dan bergizi. Tumbuh sehat, dan bebas dari ancaman kelaparan, juga terhindar dari ancaman stunting. Namun, dalam maraknya kasus keracunan massal yang terjadi saat ini, dapat memperlihatkan bahwa niat baik saja tidak cukup. Melainkan tanpa pengawasan yang ketat, standarisasi yang jelas, dan pelaporan, program besar ini justru sangat beresiko menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan.
Insiden di Sragen, Sleman, Lebong, dan beberapa wilayah lainnya tentu memberi pelajaran penting, skala distribusi nasional harus diimbangi dengan manajemen risiko yang matang. Pemerintah juga perlu membuka ruang bagi partisipasi publik dan lembaga independen untuk mengawal mutu program.
Tolak ukur keberhasilan pada program ini bukan hanya tentang berapa banyak porsi yang tersaji, melainkan seberapa aman, bergizi, dan layak makanan tersebut dikonsumsi oleh anak-anak bangsa. Seharusnya, dengan evaluasi menyeluruh dan komitmen yang baik, program ini berpotensi menjadi tonggak besar yang dapat menjadi salah satu alasan Indonesia maju dengan anak-anak bangsa yang sehat dan kuat.
Pena Penulis
Penulis: Fathma Syarifah | Editor: Aning Winarti, Zaffar Nur Hakim | Penanggung jawab: Zaffar Nur Hakim
Instagram: himasiera
Naungi Asa, Wujudkan Cita