Berhasil Taklukkan 7 EC, Begini Strategi Didi Seorang Mapres SKPM!
Berhasil Taklukkan 7 EC, Begini Strategi Didi Seorang Mapres SKPM!
Pemenuhan EC (Enrichment Course) sudah menjadi hal lumrah bagi Mahasiswa SKPM, sebagai salah satu syarat kelulusan studi S1. Di tengah segala kesibukan yang kerap dijalani mahasiswa, tidaklah mudah bagi Mahasiswa SKPM untuk menyeimbangkan antara target EC, beban kuliah, organisasi, dan berbagai kegiatan lainnya. Terlebih lagi, sebanyak 7 EC atau setara dengan 21 SKS bukanlah jumlah yang sedikit, sehingga membutuhkan strategi dan usaha lebih agar bisa terpenuhi tanpa mengorbankan aspek tertentu.
Dalam prosesnya, setiap mahasiswa memerlukan strategi step-by-step untuk memastikan semua berjalan sesuai target. Begitu pula yang dilakukan Didi Halim seorang mahasiswa berprestasi peringkat tiga tingkat Fakultas Ekologi Manusia 2025 yang telah menyelesaikan ketujuh EC.
Menjadi tantangan besar ketika memulai, Didi sempat tidak tahu kegiatan yang ia ikuti dapat dikonversi ke EC berapa. “Waktu baru masuk departemen, jujur aja aku gak terlalu ngerti EC itu apa. Jadi yaudah, ikut-ikut aja,” ungkapnya.
Seperti kebanyakan mahasiswa SKPM, awalnya Didi memilih EC hanya untuk memenuhi syarat. Namun, sejak Didi mengikuti program internasional di Magelang untuk EC 4, ia sadar bahwa EC bukan cuma soal SKS, tapi juga peluang berkembang di luar kelas. Disana, ia bertemu mahasiswa dari lima negara berbeda, berdiskusi, dan menjalin relasi. Didi pun mulai menyadari sisi positif dari EC. Meskipun penyusunan logbook terasa merepotkan, ia terbiasa mencicil pengerjaannya sedikit demi sedikit.
Baca juga: Resmi Dilantik, Intip Wajah Baru dari Himasiera!
Tak berhenti di situ, Didi juga menjajal kompetisi untuk EC 5, seperti lomba esai dan public speaking. Keikutsertaan ini mengantarkannya menjadi Mahasiswa Berprestasi, membuktikan bahwa EC bisa menjadi batu loncatan untuk mencapai hal-hal yang tak terbayangkan sebelumnya. “Aku kira lomba gak begitu penting, ya cuma sekadar untuk menuhin EC aja. Ternyata aku bisa memperoleh banyak manfaat, misalnya pendanaan dari Ditmawa,” ujarnya.
Didi sendiri awalnya lebih mempertimbangkan kemudahan mendapatkan nilai A daripada benar-benar memahami materinya. “Di EC 1 sampai EC 3, aku pilih yang gampang dapat A, tapi jadinya kurang mendapat manfaat,” paparnya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai mencari tantangan yang lebih berarti. “Kalau ditanya EC yang paling menantang, aku pribadi suka EC 5 dan EC 6. Khususnya EC 5 sangatlah berkesan, kebetulan aku lebih suka lomba ke luar kota, jadi gak cuma berdiam di kampus aja,”
Sebagian besar mahasiswa menganggap bahwa EC identik dengan kemenangan atau huruf mutu A. Padahal, menurut Didi, yang lebih penting adalah proses yang dijalani. “Misalnya EC 5, gak harus menang lomba, kok. Yang dilihat adalah prosesnya, seperti apa saja kegiatannya, dan berapa lama durasinya. Walaupun memang kalau menang otomatis dapet nilai A, sedangkan kalau tidak menang ya belum tentu A. Berhubung harus convert 3 SKS untuk EC 5, makanya yang penting durasi jamnya, bukan nilainya,” Selain itu, EC 6 menuntut Didi untuk aktif dalam berorganisasi, yaitu menjadi Mamen (Materi dan Mentoring) Ecologist 2024. Sementara di EC 7, ia terlibat di PKM Center, bahkan dipercaya sebagai PJ Wilayah PKM FEMA dan Ketua PKM Wilayah FEMA.

Hal yang menurutnya penting adalah merencanakan semester dengan matang. “Buat planning tiap semester, mau ikut apa untuk EC berapa. Sering gali informasi, jangan sampai hilang atau keluar jalur.” Selain itu, ia juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara akademik dan kegiatan di luar kampus. “Jangan terlalu banyak kegiatan di luar sampai lupa sama kegiatan di dalam, semua harus balance. Memang perlu time management yang baik,” jelas Didi.
Agar tidak keteteran, strategi ‘curi start’ bisa jadi pilihan. Sejak awal masuk departemen, Didi pun menerapkan cara ini. “Misalnya EC 4 lagi jalan, aku justru mulai untuk ngumpulin EC 5. Jadi, aku nggak menunggu sampai semester itu benar-benar datang untuk mulai mencari EC, tapi sudah mulai bergerak lebih awal,” Selain itu, Didi juga mengatakan bahwa ia selalu memanfaatkan semua fasilitas dan sumber daya di IPB, salah satunya berkonsultasi dengan dosen Pembimbing Akademik (PA).
Melakukan koordinasi dengan dosen PA menjadi langkah krusial yang sering disepelekan. “Jangan tiba-tiba convert sendiri, konsultasi dulu tentang EC sama dosen PA. Manfaatkan dosen PA dalam perjalanan akademik kalian. Kalau takut menghubungi dosen PA, coba ke Sekretaris Departemen, mahasiswa nantinya akan diarahkan,” Selain memastikan EC yang diambil sesuai, konsultasi ini dapat membantu mahasiswa dalam menyesuaikan EC agar sejalan dengan fokus akademik mereka. “Pesanku, jangan jadi pendengar pasif, melainkan pelaku aktif,” tutur Didi.
Untuk itu, mahasiswa perlu aktif mencari peluang dan informasi. Selain berkonsultasi dengan dosen PA, memantau berbagai platform media sosial terkait informasi lomba dan meminta rekomendasi dari kakak tingkat juga penting. “Rajin cari informasi, entah dari riset sendiri atau tanya kating. Cek IPB Prestasi, banyak info lomba di sana, atau ikuti akun-akun yang sering membagikan peluang lomba,” ucap Didi. Meski begitu, ia juga mengingatkan agar tetap selektif dalam memilih. “Jangan semuanya diambil juga, harus tetap selektif ya!”
“Jangan hanya mementingkan nilai A. Awalnya aku juga begitu, tapi makin kesini, aku sadar bahwa nilai A hanya bonus, yang jauh lebih penting adalah proses dan relasi yang dibangun.” tegas Didi. EC bukan hanya soal memenuhi syarat kelulusan, tapi tentang pengalaman dan pembelajaran. Dengan perencanaan yang matang, berkonsultasi, dan rencana karir yang jelas, mahasiswa bisa memanfaatkan EC secara maksimal.
————————————————————————————————–
Naungi Asa, Wujudkan Cita