Puisi MASA
MASA: Media Sastra
Media Sastra atau MASA merupakan kumpulan karya sastra berupa puisi atau monolog yang dihasilkan oleh para pengurus HIMASIERA ataupun mahasiswa SKPM secara umum. Selain ditampilkan dalam bentuk teks karya, MASA juga dikemas dengan memperhatikan estetika dari aspek audio dan visual dalam bentuk video singkat.
Bersamaan dengan semangat penciptaan dan keindahan yang terkandung dalam karya puisi, dengan bangga kami persembahkan kumpulan karya-karya puisi yang dibuat dalam MASA (Media Sastra). Mari bersama-sama menikmati dan merenungkan pesan-pesan yang terkandung dalam setiap kata yang dirangkai.
Puisi
Keadilan Untuk Siapa?
Karya: Diana Rahmawati Pinandita (SKPM 59)
Keadilan hadir untuk semua,
Tiada memandang siapa di mana,
Setiap hati berhak bahagia,
Di dunia yang penuh cinta.
Keadilan bukanlah mimpi belaka,
Harus diraih dengan jiwa membara,
Setiap insan punya hak yang sama,
Menjaga nurani, jangan terlena.
Hukum seharusnya adil dan tegas,
Bukan untuk yang kuat dan bebas,
Tapi untuk semua yang merasa lemas,
Agar dunia tak lagi bias.
Tiada lagi yang dipinggirkan,
Karena warna kulit atau perbedaan,
Keadilan untuk setiap insan,
Adalah tujuan yang kita rindukan.
Keadilan adalah cahaya terang,
Di lorong gelap yang penuh tantangan,
Menghapus luka dan ketidakberesan,
Membawa dunia menuju harapan.
Dengan hati yang tulus dan bersih,
Kita perjuangkan tanpa pamrih,
Keadilan menjadi pedoman yang teguh,
Menghapus segala yang keruh.
Mari kita genggam tangan bersama,
Berjuang demi hak yang sama,
Keadilan untuk setiap jiwa,
Adalah cita-cita yang mulia.
Dengan semangat yang membara,
Kita ukir dunia penuh cinta,
Keadilan untuk semua manusia,
Adalah langkah menuju surga.
Rintihan Sang Petani
Karya: Muhammad Zulfikar Akbar (SKPM 59)
Di bawah langit yang luas bergelombang,
Petani menari dengan matahari pagi,
Namun di pangkuannya, ada beban berat,
Dalam gemuruh sawah, rintihan terdengar.
Bajunya robek, kulitnya terbakar,
Matahari setia mengawalinya tiap hari,
Bercucuran keringat, sejuta kisah tercipta,
Petani, pahlawan tanpa tanda jasa.
Ladang hijau menjadi panggungnya,
Dia menari dengan benih harap,
Namun rentan terinjak, diinjak, terlupakan,
Sedikit yang tahu, harga sejati pertanian.
Padi melambai, hijau kuning bergoyang,
Menjadi saksi bisu perjuangan sang petani,
Bumi berbisik, tanah yang terus merintih,
Petani, panen di hujan dan panas.
Musim berganti, tetapi beban tak kenal lelah,
Petani bekerja, tanpa henti dan pamrih,
Tak ada panggung megah, tak ada sorot lampu,
Hanya langit sebagai saksi bisu.
Lahir dan besar di sini, di sawah dan ladang,
Petani menulis puisi dengan tangan berlumpur,
Kehidupan yang terukir di wajahnya,
Pertanian, ladang cita-cita yang terabaikan.
Saat malam datang, bintang bertanya-tanya,
Mengapa petani ini terus bersyukur,
Meski tangan penuh calar, hati penuh cita,
Petani tetap menyanyikan lagu kehidupan.
Di sudut kota, kisah petani terlupakan,
Mereka hanya titik dalam peta kemajuan,
Namun di hati bumi, mereka adalah tulang,
Petani, penjaga kehidupan yang tanpa batas.
Marilah kita lihat, dan hargai setiap garis tangan,
Petani adalah pahlawan tak bernama,
Mereka menari di tengah ladang subur,
Ketika senja tiba, mereka tetap bersyukur.
Petani, luhurlah dirimu,
Di balik keriput, terukir kebesaran,
Puisi ini adalah ungkapan terima kasih,
Untuk petani, penjaga kehidupan sejati.
Hatiku Adalah Sawah Abadi
Karya: Rimta Dina Tio Simbolon (SKPM 59)
Menyelami alam dengan kesederhanaan
Bahu membungkuk dan sawah menjadi sahabat
Demi sejumput hasil dan harapan ditangan
Kurayakan peluh nan bermadu keringat
Aku adalah seorang petani,
Menghidupi mimpi
Dari padi yang ditanam sendiri.
Ranting-ranting padi membelai angin,
Membisikkan rahasia kehidupan, kisah tanah subur.
Aku adalah penjaga kehidupan, padi adalah perisaiku,
Dalam setiap tangkai, terukir kisah kehidupan yang hakiki.
Namun, bayang bayang mengintai
Takdir mengejutkan, sawahku terancam hilang
Korporasi datang, merampas dengan serakah
Lahan yang ku cintai dicabik tanpa ampun
Aku, petani kecil, meratap dalam senyap,
Lahir di tanah ini, seharusnya punya hak.
Namun, kekuatan besar menindas,
Mengambil lahan, merampas cita-cita.
Meski petani kecil, aku tidak tunduk,
Hati ini tetap bersinar, semangat tak luntur.
Aku, pejuang di ladang tanpa senjata,
Mempertahankan sawah, meski dalam bayang-bayang petang.
Bersama bulan dan bintang sebagai saksi,
Aku kan berjuang mempertahankan harga diri
Ku kan bertahan, menyelamatkan kehidupan
Sebab hati petani adalah sawah yang tak bisa diambil.
Aku Mau Gelang dan Kalung Emas
Karya: Khadijah (SKPM 59)
Lihatlah ini semua
Lihatlah kanan dan kiriku
Lahan luas menghampar di depan mata
Padi kuning keemasan dengan semilir anginnya
Selalu kutemukan kedamaian di sini
Siapa? Siapa sang perkasa yang menaklukkan sawah ini?
Pasti puluhan laki-laki gagah dengan otot besar bukan?
Tidak! Dengan bangga, aku katakan kepada langit di atas sana
Kepada burung camar yang terbang di angkasa
Dengan orang-orangan sawah sebagai saksi mata
Dengarkanlah…
Ayahku, laki-laki kurus kering dengan tiga temannya
Badannya tak beda jauh dengan ayah
Menaklukkan semuanya dengan semangat
Sebentar lagii… sebentar lagi musim panen tiba
Dengan lahan yang begitu luas
Apakah aku akan memakai kalung dan gelang emas?
Ah, beras!
Untuk dapat beras saja ayahku harus lebih keras
Di atas ayahku, berdirilah seorang yang culas
Banyak yang ia rampas
Ia ambil dengan beringas
Hei, bukankah kami harusnya dapat yang dijanjikan?
Aku mau gelang dan kalung emas
Layaknya yang istri dan anakmu pakai
Tapi kata ayah, tabungannya habis untuk beli beras
Lihat nanti kalau kau di neraka
Di pintunya, akan kutagih janji 60 dan 40
Yang kini menjadi 90 dan 10
Nasib Mereka, Nasibmu Juga
Karya: Naufal Firdaus (SKPM 58)
Tuan dan puan,
Perkenalkan, kami adalah pemuda berseraung
Kaum yang bugar dan gemuk
Kaum penguasa segala saripati tanah itu
Penghasil dan penentu
Primadona di negeri ini
Kami tertawa luas
Menyadari, tidak semua film serupa akhirannya
Namun, datangnya kami
Bukan ingin menyemen ribuan kaki
dan berteriak, matilah kami!
Kiamat itu membuat kami gelisah setengah mati
Lantas, bagaimana nasib kami tuan dan puan?
Jika bukan kalian yang memperjuangkan
Bagaimana darah ini terus mengalir, tuan dan puan?
Jika hanya membiarkan tanah itu diratakan
Tuan dan puan, cicipi jamuan kami
Kami tukarkan keriput dini dengan sebuah ubi
Kami relakan tangan kapalan demi sebuah singkong
Tak lupa, asam lambung pun ikut menyumbang
Enak kan jamuannya, tuan dan puan?
Coba sesekali dengarkan kami, wahai tuan dan puan
Kami tak minta banyak, hanya ingin diperjuangkan
Bagaimana nasib hidup dan matinya kami
Apakah, masih bisa bertahan dengan kemiskinan?
Tuan dan puan, pada pundak kalian kami percayakan
Pada suara kalian terdapat suara kami yang sumbang
Pada tangan kalian ada keresahan yang patut diredamkan
Dan pada kaki kalian menunggu perubahan
Tuan dan puan,
Kami tundukan kepala
Mulut kami akhirnya mengeluarkan muntahan
Kami sudah tak sanggup lagi melanjutkan kehidupan
Jika tuan dan puan tak mau memperjuangkan
Nasib Petani
Karya: Zaffar Nur Hakim (SKPM 59)
Tuan dan Puan
Bagaimana kabar Anda sekalian?
Apakah sudah puas dengan hidup yang berkecukupan?
Sementara melihat kami hidup dengan ketidakpastian
Oh tuan dan puan
Mana janji-janjimu yang dulu kau sematkan?
Apakah kini kau sudah melupakan?
Dan hanya tersisa sebatas angan-angan
Oh… tuan dan puan
Dulu kau selalu teriak-teriakan
Tentang kesejahteraan dunia pertanian
Lantas, janji yang telah kau katakan dan pertaruhkan
Ternyata, hanya demi kepentingan kursi pemerintahan
Dulu, kau menjadi garda terdepan bagi kami para petani
Yang terus menyuarakan tanpa henti
Dulu, kau hinggap ke sana kemari kepada kami para petani
Berikan harapan bagi kaum ini
Dulu, kau dengarkan keluhan kami para petani
Namun sekarang bungkam tak berarti
Lantas, bagaimana sebenarnya nasib kami di negeri ibu pertiwi?
Kata orang negeri ini kaya akan pangan
Tapi aktivitas impor tak ada henti tanpa perasaan
Kata orang negeri ini kaya akan pertanian
Tapi nasib para petani tak karuan
Kami menanam, memanen dan menghasilkan pangan
Tapi kami juga yang merasakan kelaparan
Akses yang semakin sempit
Bagai nasib yang sudah terimpit
Pupuk semakin sedikit
Hidup petani kian menyulit
Oh tuan dan puan…
Kemalangan Mengabdi
Karya: Claranita Rossi (SKPM 59)
Di tanah yang luas, petani bekerja
Mengolah lahan dengan terampil dan berkarya
Menghidupkan padi layaknya sebuah harta
Menjadi pilar dalam ekonomi rumah tangga
Terik matahari mulai menyengat
Membasahi tubuh dengan keringat
Walau kisah petani kini terjerat
Membela keadilan tak pernah patah semangat
Tantangan datang menerjang
Mencabik-cabik dalam genggaman
Kepada petani yang sudah berjuang
Untuk lahan mereka yang beralih tangan
Petani menuntut haknya
Agar tanah tak jadi rebutan semata
Dengan matahari sebagai saksi setia
Menggambarkan derita yang terus menyiksa
Nasib petani terus merana
Memeluk padi seolah nyawa
Bagaimana mau sejahtera
Jika menuai asa tapi mematikan cita
Agraria menjadi perjuangan
Tumpuan petani dalam kesejahteraan
Mengukir sebuah senyuman
Untuk kehidupan yang tak tergantikan
Melodi agraria sebagai cermin harta
Jejak sejarah di bumi Indonesia
Setiap langkah mulai bergema
Menjunjung baru generasi muda
Ladang subur memang tak menarik perhatian
Sekarang lihatlah sebuah kebenaran
Puisi ini bukan sekedar mengingatkan
Tapi panggilan untuk menolak penindasan
Kabung Abu Lumbung Sepetak
Karya: Aghnia Lalita (SKPM 59)
Di bawah legam langit
Tanah kami ini adalah pusara
dan sebilah sabit tua adalah mantra
Di bawah reriuhan pangkal randu
Kami merapal nyaris berserah
menukik kerucut anyam tercampak di lemah
Dan sontak zamrud hijau merebak abu
Lepas, ungu anyelir mendesak kami sendu
Padi telah berkisah
Masa tabur-tuai terluput desir angin
Menyisa ranum harap sepucuk tunas
Membuat kami meringkuk-terpuruk
Menasbih kata sepenggal
Di atas lumbung sepetak
Benar, Tuan. Ini tinggal sepetak
Zamrud hijau rimbun tak sampai sekotak
Seakan sulap, memaksa netra menatap gersang
dan sihir parau memaksa sekutil benih hilang
Petani ringkih berpelik
Kemana pergi hilir penghidupan kami?
Sejumput-kah Tuan peduli?
Ya, kami mengadu getir
kepada Tuhan menimang padi sisa reruntuhan
Meratap balai-balai akbar yang menggantikan
Menggilas lebat lemah yang dijadikan tumpuan
Lantas, kami menadah secangkir air mata
dan memberisik keruh dengan tangis sumbang
Pun
Kabung abu menyelimuti jemari bibir
Kembali kami menasbih
lumbung sepetak telah hilang asih
Demi trah penguasa durjana
yang enggan mau pandang perih
Negeri Demokrasi yang Sunyi
Karya: Shafira Rizkyanty (SKPM 59)
Indonesia, negeri demokrasi
Tapi, apakah kebebasan hanyalah ilusi?
Indonesia, menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh insan
Tapi, dimanakah hak yang kau janjikan?
Haruskah kami turun dengan teriakan lantang,
Menuntut keadilan yang kian melayang
Suara kami terpantul di tembok sunyi
Entah tak terdengar, atau sengaja kau sembunyi?
Apalah daya kami yang bukan penguasa
Keadilan itu, untuk siapa ia dituju?
Apakah hanya untuk mereka yang berkuasa?
Pada akhirnya, harapan kami hanyalah semu belaka yang tak tentu
Mungkin, inilah maksud dari kemerdekaan
Yang nyatanya berpihak pada kepentingan pilihan
Padahal, Indonesia negeri demokrasi katanya
Yang memberikan hak dan kesempatan kepada seluruh rakyatnya
Indonesia, tanah kebebasan
Haruskah kami selamanya berjuang dalam kesunyian?
Jangan biarkan kami terus meratap dalam keraguan,
Karena keadilan hanya samar dalam pandangan
Demokrasi Seumur Jagung
Karya: Zaffar Nur Hakim (SKPM 59)
Mulailah tumbuh setangkai harapan
Di ladang negeri yang mengalami kegelapan
Dalam genggam rakyat, bibit itu mulai ditanam
Berakar pada janji dan percaya yang tertanam
Namun tak lama, angin kian menderu
Datanglah bayang dalang di balik biru
Sosok yang bermuka teduh
Menggenggam kuasa dengan halus tapi angkuh
Harapan yang hendaknya menjadi makna
Tapi yang terjadi malah sebaliknya
Perlahan menjadi penguasa
Upaya membuka pintu bagi keluarga
Seumur jagung demokrasi bersemi
Bunga-bunga suara perlahan mati
Racun kepentingan mengaliri akarnya
Mematikan nurani, menyumbat suaranya
Apa artinya kebebasan bicara
Jika kata-kata dibeli oleh bara?
Apa gunanya suara pilihan,
Jika amanat terjual dalam diam?
Namun, jagung itu tak bisa dipatahkan
Meski daun-daunnya dicuri perlahan
Rakyat akan menanam lagi
Sampai negeri ini subur dengan arti